Posted by : Nezumi-KID
Rabu, 25 April 2012
Dahulu
kala, hubungan rubah dan babi hutan sangat baik. Namun karena sesuatu
hal, hubungan mereka kini kurang baik. Dan semua itu berawal dari
kejadian ratusan tahun yang lalu. | ||||
Suatu
hari, di awal musim semi seekor rubah keluar dari lubang
persembunyiannya di bawah tanh. Sudah lama sekali ia harus mendekam di
bawah tanah karena musim dingin. Kini perutnya terasa lapar sekali. Ia
mengendus endus kesana-kemari, namun tidak mencium bau makanan
sedikitpun. Ketika ia sampai di tepi jalan desa tiba-tiba hidungnya
mencium bau amis ikan. “Wah, enak sekali baunya! Pasti ada makanan di
sekitar sini.” Pikirnya sambil celingk celinguk mencari sumber bau ikan
tersebut. Akhirnya pandangan matanya menangkap dua orang pedagang ikan
yang sedang menarik gerobak ikannya.”wah, beruntung sekali aku! Pasti
pedagang ikan itu membawa ikan-ikan yang masih segar!” katanya dalam
hati. | ||||
“Tapi
bagaimana caranya agar aku mendapatkan ikan itu ya? Kalau mendekati
mereka, pasti mereka akan memukulku!” katanya dengan bingung. “Ah. Lebih
baik aku pura-pura mati saja!” kata sang Rubah seraya merebahkan
dirinya di tengah jalan. Ia pun berpura-pura mati. | ||||
Sementara
itu, dua orang pedagang ikan yang sedang menarik gerobaknya melewati
jalan tersebut. Dilihatnya seekor rubah yang terlentang tak bergerak di
tengah jalan. | ||||
“wah, binatang apa itu?”kata salah seorang dari mereka. “Hmm..kalau melihat bulunya yang berwarna coklat jelek, dan monyongnya…ia pasti rubah!”kata pedagang temannya. “Sedang apa dia disitu ya?” Tanya pedagang satunya lagi “Mungkin dia mati, karena keracunan makanan!” jawab temannya. “Wah, ngomong-ngomong kuliat rubah kalau dijual pasti laku amhal ya?” “Wah benar juga. Sebaiknya kita ambil saja dia. Nanti kita bisa jual ke pasar.” | ||||
Tubuh
rubah itu pun kemudian diangkat dan dimasukkan ke dalam gerobak ikan.
Mereka pun meneruskan perjalanan ke rumah mereka. Setelah sampai
dirumah, mereka lalu meletakkan gerobak ke dalam rumah. Setelah itu
mereka pergi kepasar terdekat untuk mencari orang yang mau membeli kulit
rubah . sementara itu, ketika pemilik gerobak sedang pergi, sang rubah
mulai membuka matanya. Ia sangat kegirangan. Dengan leluasa ia makan
ikan sebanyak-banyaknya. Setelah puas, ia kemudian menggigit 2-3 ekor
ikan dimulutnya lalu melompat pergi meninggalkan rumah tersebut.
Sesampai dirumah, kedua pedagang itu terkejut karena melihat ikan-ikan
dagangannya telah habis dan rubah yang mereka sangka mati pun sudah
menghilang entah kemana. | ||||
“Kurang ajar! Kita telah ditipu oleh rubah sialan itu!” kata seorang pedagang itu dengan marah. | ||||
Sementara
itu, sesampainya di lubang tempat tinggalnya sang rubah tertawa
terbahak-bahak. Ia telah berhasil menipu kedua pedagang ikan tadi. Dan
kini pun ia masih mempunyai beberapa ekor ikan untuk makan malamnya. | ||||
Ketika ia sedang membakar ikan, tiba—tiba datanglah seekor babi hutan tetangganya. “Hei, Rubah! Sedang apa kau? Nampaknya gembira sekali kau hari ini. “kata sang babi menyapa. “Ah biasa saja. Hari ini aku diundang makan-makan oleh manusia.” “ Oh ya? Beruntung sekali kau. Bagaimana ceritanya?” "Tadi pagi aku sedang mencari makanan. Karena perutku kelaparan, aku sampai pingsng di tenagh jalan. Akhirnya ada dua oragn pedagang ikan yang kebetulan lewat. Mereka menolongku dengan member makan ikan banyak sekali, hingga kekenyangan." “wah, baik sekali mereka” “kamu juga bisa mencobanya. Besok pagi, pergilah ke jalan di lereng bukit itu, lalu berpur-puralah pingsan di tengah jalan. Kalu pedagang itu lewat, mereka akan mengundangmu makan-makn dirumahnya.” Kata sang rubah memberi saran. “Bagus sekali saranmu. Baiklah, besok akan aku coba. Terima kasih ya!” | ||||
Keesokan
harinya, babi hutan berpura-pura pingsan di tengah jalan seperti yang
disarankan oleh sang rubah. Beberapa saat kemudian datanglah dua orang
pedagang ikan hendak melewati jalan itu. Ketika mereka melihat sesosok
tubuh babi hutan yang tergeletak di tengah jalan mereka terkejut.
“Hah, apa lagi yang tergeletak di tengah jalan ini?”
"Itu babi hutan.” | ||||
“Kita jangan sampai tertipu lagi. Cepat ambil tongkat kayumu, kita pukul ramai-ramai babi hutan tersebut..” “Setuju!” Akhirnya kedua pedagang itu pun mengambil tongkat kayu yang mereka persiapkan dan mulai memukuli tubuh babi hutan itu. Babi hutan yang malang itu pun terkejut. Ia pun lari tunggang langgang karena tubuhnya dipukuli dengan tongkat. | ||||
“Ha..ha..ha..ha, rasakan! Jangan coba-coba menipu kami lagi!” kata sang Pedagang sambil tertawa terbahak-bahak. Sementara itu babi hutan yang malang pergi kerumah sang rubah. Ia melaporkan kejadian yang menimpanya tadi. “Aduh, kasian kamu. Maaf ya. Aku tidak menyangka kalau manusia itu jahat!” kata sang rubah menghibur babi hutan temannya. Akhirnya, dengan menahan sakit, babi hutan pun pulang kerumahnya. | ||||
Keesokan
harinya, rubah pergi mencari makan. Karena takut bertemu dengan
pedagang ikan yang memukulinya babi hutan kemarin, maka kini ia mencari
makanan di sekitar kuil Buddha. Ketika ia sedang mengendap-endap di tepi
jalan menuju kuil, dari arah jauh ia melihat seorang pendeta Budha
sedang berjalan ke arah kuil. Pendeta tersebut nampaknya sedang membawa
banyak barang. | ||||
“Wah,
sepertinya pendeta itu baru belanja. Barang bawaanya banyak!” kata sang
rubah dalam hati. Ketika sang pendeta melewati tempat persembunyian
sang rubah, tanpa disadari sang pendeta, ada sebungkus barangnya yang
terjatuh. Melihat hal itu, sang rubah tertawa senang. Ia menunggu
kesempatan sampai pendeta menjauh. Setelah itu ia melompat dan membawa
bungkusannya yang jatuh itu pulang ke rumahnya. Apa isi bungkusannya itu
ya? “Wah ternyata krupuk senbei yang lezat!” kata sang rubah sambil mengeluarkan krupuk senbei lalu mengunyahnya dengan sangat lahap. | ||||
Beberapa saat kemudian datanglah sang babai hutan temannya. Ia menyapa rubah. “Hai, sedang apa kau? Nampaknya hari ini kau senang sekali.” Sapa sang babi hutan, “ Ah, biasa saja. Aku sedang membaca undangan makan malam dari pendeta di kuil sebelah.” Kata rubah berpura-pura. “Undangan makan malam? Wah, hebat sekali kamu. Boleh ikutan dong? Pinta sang babi hutan. “Boleh saja. Datanglah kesini lagi tepat tengah malam. Kita akan pergi ke kuil itu bersama-sama.” Kata sang rubah. “Baiklah. Kau sungguh baik! Teriam kasih ya!” kata babi hutan dengan gembira. | ||||
Malam
harinya, babi hutan pun pergi ke rumah rubah. Mereka berdua lalu pergi
bersama-sama ke kuil Buddha yang di maksud. Karena suasananya sepi, maka
mereka pun segera masuk kedalam ruang pemujaan yang memenag tidak
dikunci. Saat itu pendeta dan para pembantunya sudah tidur. Jadi, mereka
berdua bisa dengan leluasa berada di ruangan tersebut. Di meja
persembahan terdapat banyak makanan dan minuman. Disitu juga tersedia
beberapa botol sake untuk persembahan. | ||||
“Ayo, temanku! Mari minum bersama!” kata sang rubah sambil menuangkan sake ke cangkir. “Terima kasih! “ kata sang babi hutan. Mereka berdua akhirnya makan dan minum sepuasnya di tempat itu. Karena tidak terbiasa minum banyak, maka rubah menuangkan banyak minuman ke cangkir babi hutan. Dan babi hutan pun minum sake banyak sekali wajahnya memerah. “Eh, temanku…cepat bunyikan lonceng itu. Kita harus mengucapkan doa syukur kepada Buddha. Tidak pantas kalau kita tidak mengucapkan terima kasih karena telah makan dan minum banyak sekali disini.” Kata rubah sambil menunjukkan tempat berdoa. “Baiklah.” Kata babi hutan seraya menarik tali lonceng dengan mulutnya. “Tong…tong…” Bunyi lonceng itu diiringi dengan suara babi yang berdoa “Ngiik..ngiik” “Ayo bunyikan yang lebih keras lagi! Kata sang rubah. “Tong…tong..tong…tong..” “Nguik…Nguikk..Nguik….” Bunyi lonceng bersahut-sahutan dengan suara doa babi hutan yang bertambah keras. | ||||
Sementara
itu, para pembantu pendeta yang sedang tidur terbangun karena mendengar
suara lonceng dan kegaduhan diruang persembahan kuilnya.
“Ada
apa ya? Aneh sekali ..malam-malam begini ada orang membunyikan lonceng
kuil!” kata salah satu pembantu. Mereka lalu mengintip ke dalam ruang
persembahan. Alangkah terkejutnya mereka ketika melihta kedalam ruang
persembahan. Tenyata yang membuat keributan itu bukan manusia, melainkan
binatang. Seekor babi hutan dan seekor rubah!
| ||||
“Kurang
ajar binatang-binatang itu! Ayo cepat ambil tongkat dan pentungan, kita
beri pelajaran pada mereka!” kata seorang pembantu dengan berisik. Sementara itu, rubah yang tidak ikut berdoa, mendengar suara kasak-kusuk diruang sebelah. “wah, bahaya. Itu pasti suara para pendeta. “katanya dalam hati. | ||||
Ia
segera berbisik kepada sang babi hutan, tetapi karena ia sedang berdoa
dengan suara keras, maka ia tidak bisa mendengarnya. Akhirnya, ketika
para pembantu kuil itu mengepung mereka dari pintu masuk ruang
persembahan, sang rubah yang badannya kecil segera melompat naik keatap. Ia pun keluar melalui celah atap tersebut. Tetapi, babi hutan yang baru menyadari bahwa dirinya telah di kepung, hanya bisa berlari berputar-putar ruangan. Ia tidak bisa lagi keluar dari ruangan itu karena sudah terkepung. Tongkat panjang para pembantu tersebut melayang memukuli tubuh sang babi. Babi pun menjerit-jerit kesakitan. | ||||
“Ngiikk…ngiikk…”
ia lalu melompat ke meja persembahan lalu segera keluar ruangan melalui
jendela. Tubuhnya yang tambun pun jatuh berdebum ke tanah saat melompat
dari jendela. Tetapi karena sangat takut, ia tidak mempedulikan sakit
ditubuhnya. Ia terus lari kencang ke dalam hutan. Sejak saat itu, ia
tidak mau menemui rubah temannya lagi. Ia pun selalu ketakutan bila
melihat manusia yang jumlahnya banyak. | ||||
Catatan: | ||||
Cerita
ini berjudul asli Kitsune to Inoshishi berarti “Rubah dan Babi hutan”
yang berasal dari Prefektur Yamagata. Peringatan untuk tidak mudah
percaya pada orang lain tergambar jelas dari cerita ini. Karena tidak
semua orang itu memiliki kebaikan dan maksud yang sama dengan kita. Oleh
karena itu, kita harus wapada dan tidak lengah meski berada diantara
orang-orang yang baik, tanpa harus mencurigai secara berlebihan. |
Sumber : Kisah Jepang Klasik